|
|
|
|
SISTEM PENCATATAN PERSEDIAAN
Terdapat dua sistem pencatatan Persediaan:
· Sistem pencatatan Persediaan Perpetual
· Sistem Pencatatan Persediaan secara periodik
Sistem Pencatatan Persediaan secara perpetual
Sistem pencatatan Persediaan secara perpetual melakukan
pencatatan Biaya Persediaan secara terus menerus ke pembukuan. Setiap perubahan
dalam Persediaan langsung dicatat dengan mendebit atau mengkredit akun
Persediaan. Teknik pencatatan apabila menggunakan sistem ini adalah:
1. Setiap terjadi pembelian barang, akun Persediaan didebit
2. Apabila terjadi pembayaran ongBiaya masuk, menerima
diskun tunai atas pembelian, atau pengembalian dan penyisihan penjualan, maka
nilai transaksi langsung dicatat ke akun Persediaan, bukan ke akun khusus untuk
mencatat peristiwa-peristiwa itu.
3. Setiap terjadi penjualan barang, maka akun Persediaan di
kreditkan dan akun Biaya dari barang terjual (Cost of Goods Sold)
didebitkan
4. Setiap jenis Persediaan dibuatkan kartu Persediaan yang
berfungsi sebagai buku pembantu (subsidiary
ledger) dari akun Persediaan.
Sistem Persediaan perpetual mencatat mutasi Persediaan
secara terus menerus ke akun Persediaan sehingga posisi Persediaan tetap bisa
diketahui setiap saat. Untuk menghasilkan pengendalian yang baik, maka sistem
pencatatan Persediaan secara perpetual bisa digunakan.
Sistem Pencatatan Persediaan secara periodik
Sistem ini mencatat mutasi (perubahan) terhadap saldo
Persediaan ke masing-masing akun yang menunjukkan transaksinya, bukan ke akun
Persediaan. Teknik pencatatan apabila menggunakan sistem ini adalah:
1. Setiap terjadi pembelian barang Biaya Persediaan dicatat
ke akun Pembelian.
2. Apabila terjadi pembayaran ongBiaya masuk, menerima diskun
tunai atas pembelian, atau pengembalian dan penyisihan penjualan, maka nilai
transaksi langsung dicatat ke akun masing-masing (Akun biaya angkut pembelian,
diskun pembelian, akun retur dan penyisihan pembelian) bukan ke akun
Persediaan.
3. Setiap terjadi penjualan barang, maka akun Persediaan
tidak dikreditkan.
4. Untuk menghitung Biaya dari barang yang terjual (Cost
of Goods Sold), maka harus
dilakukan perhitungan sebagai berikut:
Biaya dari barang
terjual (Cost of Goods Sold)
Persediaan awal periode (Beginning Balance) xxx
Pembelian (Purchases) xxx
Retur pembelian (Purchase Return) (xxx)
Diskun pembelian (Purchase Discount) (xxx)
Biaya angkut (Freight In) xxx +
Pembelian neto (Net Purchase) xxx+
Barang tersedia untuk dijual xxx
(Goods Available for sale)
Persediaan akhir Periode (Ending Balance) (xxx)
Biaya dari barang terjual (Cost of Goods Sold) xxx
5. Persediaan akhir diketahui jumlahnya hanya dengan
melakukan perhitungan fisik.
6. Dibuat jurnal untuk menutup/menyesuaikan saldo Persediaan
akhir ke neraca dan menutup akun-akun pembelian, retur pembelian, biaya angkut
pembelian.
Kepemilikan (hak) atas Persediaan menentukan siapa yang
mencatat barang sebagai Persediaannya. Untuk menetapkan hak atas Persediaan,
ada beberapa kondisi yang harus dianalisis:
· Barang dalam
perjalanan pada saat menyusun laporan keuangan
Untuk menetapkan siapa yang berhak atas barang yang
sedang dalam perjalanan pada saat penyusunan laporan keuangan, maka harus
dilihat syarat (term) dari pembayaran
ongBiaya angkut yang ada di konosemen (Bill
of Lading). Terdapat dua syarat pengiriman yang bisa menunjukkan
kepemilikan dari barang:
1. FOB Shipping
Point (Free On Board Shipping Point) atau franko penjual. Apabila penjualan dilakukan dengan
ketentuan ini maka ongBiaya angkut pengiriman barang ditanggung oleh pihak
pembeli barang. Hal itu berarti kepemilikan barang berpindah apabila barang
sudah keluar dari pelabuhan atau tempat pengiriman. Pihak penjual dengan segera
mengkreditkan akun Persediaan dan pihak pembeli mendebitkan akun pembelian atau
Persediaan. Ketentuan ini biasanya dituliskan sesuai dengan kota pihak penjual
(misalnya: apabila pihak penjual berada di Kota Medan maka dituliskan FOB Medan
atau Franko Medan)
2. FOB Destination (Free On Board Shipping Point) atau franko pembeli. Apabila penjualan
dilakukan dengan ketentuan ini maka ongBiaya angkut pengiriman barang
ditanggung oleh pihak penjual barang. Hal itu berarti kepemilikan barang
berpindah apabila barang sudah sampai ke tujuan atau tempat pembeli berada.
Pihak penjual mengkreditkan akun Persediaan apabila barang sudah sampai pada
pembeli barang dan pihak pembeli mendebitkan akun pembelian atau Persediaan
apabila sudah diterima. Ketentuan ini biasanya dituliskan sesuai dengan kota
pihak pembeli (misalnya: apabila pihak pembeli berada di Kota Jakarta maka
dituliskan FOB Jakarta atau Franko Jakarta)
· Barang Konsinyasi
Salah satu metode pemasaran yang banyak dipakai adalah
konsinyasi. Pihak penitip (disebut konsinyor) mengirimkan barang kepada agen
penjual dimana agen penjual berkewajiban menjual barang konsinyasi itu. Apabila
barang tidak terjual maka pihak penitip bisa mengambil atau mengganti barang
dengan barang yang baru. Dalam metode pemasaran secara konsinyasi
barang tetap menjadi hak penitip barang sampai barang itu terjual.
Pihak yang menerima titipan (konsinyee) menerima komisi atas penjualan barang
dan berkewajiban menjaga barang dan menempatkan barang di tempat yang
pantas.
· Perjanjian
Penjualan Khusus
1.
Penjualan
dengan perjanjian membeli kembali
Kadang-kadang perusahaan mendanai Persediaannya tanpa
melaporkan adanya hutang atau Persediaan di neraca. Hal ini dilakukan dengan
penjualan dengan perjanjian membeli kembali. Dalam model transaksi ini pihak
penjual dan pembeli melakukan perjanjian jual beli dimana pihak penjual
berjanji akan membeli kembali Persediaan dengan harga yang disepakati. Oleh
pihak pembeli, barang ini digunakan sebagai jaminan untuk pinjaman dari bank.
Hasil peminjaman uang dari bank digunakan oleh pembeli untuk melunasi transaksi
penjualan barang. Dimasa depan, pihak penjual membeli kembali seluruh barang
dan pihak pembeli menggunakan hasilnya untuk melunasi hutang ke bank. Transaksi
itu dapat diilustrasikan sebagai berikut:

Dengan
melakukan penjualan dengan perjanjian membeli kembali pihak penjual bisa
menghindarkan pencatatan hutang dan memanipulasi penghasilan. Sedian dengan
skema penjualan ini tetap dicatat oleh pihak penjual. Pihak penjual tetap
sebagai pemilik barang dan juga harus mencatat hutang ke bank sebagai
kewajibannya.
2.
Penjualan
dengan tingkat pengembalian yang tinggi
Apabila dalam suatu operasi usaha terdapat tingkat
pengembalian (return) yang tinggi
karena ada perjanjian dagang yang memungkinkannya, maka terdapat dua alternatif
pencatatan transaksi penjualan. Pencatatan transaksi penjualan bisa dilakukan
pada saat terjadinya transaksi dan mencatat taksiran pengembalian dan
penyisihan penjualan pada akun taksiran
penembalian dan penyisihan penjualan. Penjual bisa juga tidak mencatat penjualan sampai suatu keadaan yang
mengindikasikan jumlah yang akan dikembalikan oleh pembeli. Apabila jumlah
pengembalian bisa ditaksir dengan akurat, maka Persediaan juga bisa dikreditkan
pada saat mencatat penjualan.
3.
Penjualan
Cicilan
Penjualan cicilan merupakan cara penjualan lainnya dalam
praktik bisnis. Pelanggan akan melakukan cicilan sampai periode waktu tertentu.
Cara penjualan secara cicilan sangat beresiko, terutama tingkat ketertagihan
piutang. Oleh karena itu, dalam penjualan cicilan biasanya hak kepemilikan atas
barang berpindah apabila cicilan telah diselesaikan. Namun, terkait dengan
kepemilikan atas Persediaan dalam penjualan cicilan, barang-barang harus
dikeluarkan dari akun Persediaan pihak penjual apabila persentase dari piutang
yang tak tertagih bisa ditaksir secara akurat.
Diskun pembelian diterima apabila entitas membayar hutang
usaha pada rentang waktu diskun yang diberikan pihak penjual. Untuk mencatat
diskun pembelian terdapat dua metode yang bisa digunakan, yaitu metode neto
(Net Method) dan Metode Bruto (Gross Method). Dengan menggunakan metode neto
diskun pembelian langsung dikurangkan dari pembelian/ Persediaan barang da
hutang usaha. Apabila diskun tidak diambil maka didebitkan akun kerugian atas diskun pembelian (Purchase discount Lost). Akun kerugian karena tidak memanfaatkan
dikun pembelian dilaporkan di laporan rugi laba pada kelompok biaya lain-lain (Other Expenses and Losses).
Metode bruto dioperasikan dengan mencatat
pembelian/Persediaan pada jumlah bruto. Pada saat pembayaran hutang pada masa
diskun, pembeli barang mencatat diskun dalam akun diskun pembelian (apabila
menggunakan sistem periodik) atau mengkreditkan akun Persediaan (apabila
menggunakan sistem perpetual). Misalnya, PT. A menggunakan sistem periodik dan
membeli barang dengan syarat 2/10,n/30 pada tanggal 1/5-2005 seharga Rp. 10
juta. Apabila pembayaran dilakukan dalam periode diskun atau diluar periode
diskun, pencatata yang dilakukan adalah:
Persediaan dinilai atas dasar Biaya historis.
Penyimpangan atas basis ini dapat dilakukan apabila terdapat kondisi- kondisi
lain, misalnya penurunan nilai Persediaan menuju nilai pasar atau kondisi yang
memerlukan estimasi atas nilai Persediaan. Penilaian berbasis aliran Biaya
historis terdiri atas beberapa metode:
· Identifikasi spesifik (Specific Identification)
· FIFO (First In
First Out/Masuk Pertama Keluar Pertama)
· LIFO (Last In First
Out/ Masuk Terakhir Keluar Pertama)
· Average (Rata-Rata)
Keempat
asumsi aliran Biaya Persediaan itu dapat diterapkan pada sistem pencatatan
periodik maupun perpetual.
A.
Identifikasi
Spesifik
Metode aliran Biaya ini digunakan apabila terdapat
ciri-ciri khusus dari setiap jenis Persediaan. Karena setiap jenis memiliki
kualitas dan harga yang berbeda-beda, maka setiap barang yang terjual harus
dikenali tanggal pembeliannya sehingga barang yang tersisa (Persediaan) dan
terjual bisa diidentifikasi Biaya-nya. Metode aliran Biaya ini merupakan metode
yang terbaik namun sulit untuk dilakukan, terutama pada barang yang jenisnya
banyak. Biasanya, metode ini digunakan pada entitas yang memiliki jenis
Persediaan sedikit, mahal dan mudah dibedakan berdasarkan karakteristik barang
(misalnya: emas, perhiasan, mobil, furniture, berlian,dll).
Misalkan PT. A memiliki data terkait dengan Persediaan
sebagai berikut:

Apabila
Persediaan akhir ( 600 unit, berasal dari 300 + 685 -30 -395 + 40) diidentifikasi berasal dari Persediaan awal
(185 unit), pembelian 02/1-07 (70 unit),
16/1 (10 unit), dan 20/1 (175 unit), 31/1 (160 unit), maka Biaya Persediaan akhir dapat dihitung:

B.
FIFO
Metode aliran Biaya Persediaan dengan FIFO mengasumsikan
aliran Biaya atas Persediaan yang keluar diambil dari Biaya Persediaan yang
paling awal masuk ( Biaya Persediaan
yang pertama masuk merupakan basis menentukan Biaya Persediaan yang
dikeluarkan). Metode ini mengasumsikan Biaya Persediaan akhir berasal dari
Persediaan yang terakhir masuk ke gudang/tempat penyimpanan. Metode FIFO bisa diterapkan dalam sistem
pencatatan periodik maupun perpetual.

FIFO pada sistem pencatatan periodik
Pada sistem pencatatan periodik, Kunatitas dan Biaya
Persediaan akhir diketahui apabila dilakukan perhitungan fisik terhadap
Persediaan. Biaya dari barang yang terjual (Cost
of Goods Sold) berasal dari harga pembelian yang paling awal sedangkan Biaya Persediaan akhir berasal dari
pembelian yang terakhir dan ditarik mundur sampai suatu tanggal dimana
kuantitas Persediaan terpenuhi. Berdasarkan contoh PT. A sebelumnya, maka Biaya
Persediaan akhir dengan metode FIFO dalam sistem Periodik dapat dihitung
sebagai berikut:

FIFO pada sistem pencatatan Perpetual
Dalam sistem Persediaan perpetual, manajemen Persediaan
dilakukan dengan membuat kartu Persediaan (di bagian akuntansi) yang memuat
setiap mutasi (pergerakan) barang serta Biaya-nya. Apabila dipakai metode FIFO,
maka setiap barang yang keluar karena terjual dihitung Biaya-nya berdasarkan
Biaya Persediaan akhir yang pertama dibeli. Biaya dari Persediaan akhir berasal
dari harga pembelian barang yang terakhir..
Dari contoh sebelumnya, Persediaan akhir PT. A dapat
dihitung dengan menggunakan metode aliran FIFO dalam sistem Persediaan
perpetual:

Walaupun
saldo Persediaan akhir bisa diketahui dari kartu Persediaan, namun perhitungan
fisik terhadap Persediaan akhir tetap harus dilakukan minimal pada saat akhir
periode akuntansi
C.
METODE
LIFO
Metode LIFO bergerak dalam arah yang berlawanan dengan
metode FIFO. Pada metode aliran Biaya ini, Biaya dari barang yang dijual (Cost of Goods Sold) diambil dari Biaya
Persediaan yang terakhir dibeli sehingga Biaya Persediaan akhir berasal dari
Biaya barang yang pertama dibeli.

LIFO pada sistem pencatatan periodik
Dalam sistem periodik, Biaya Persediaan akhir diketahui
jika dilakukan perhitungan fisik terhadap Persediaan. Biaya Persediaan
akhir berasal dari pembelian yang
pertama dilakukan dan kemudian ditarik maju sampai kepada tanggal pembelian
dimana seluruh unit dalam Persediaan
terpenuhi. Dalam contoh sebelumnya, Biaya Persediaan akhir PT. A,
apabila dinilai dengan metode LIFO pada sistem Persediaan periodik, dapat
dihitung sebagai berikut:

LIFO pada sistem pencatatan perpetual
Pada sistem perpetual, Biaya dari barang yang dijual
ditentukan berdasarkan Biaya pembelian barang
terakhir. Biaya Persediaan akhir dihitung dari harga pembelian yang
pertama dilakukan. Dari contoh PT. A sebelumnya, nilai Persediaan akhir dapat
dihitung sebagai berikut:

D.
METODE
AVERAGE (RATA-RATA)
Metode rata-rata juga dapat diaplikasikan pada sistem
pencatatan periodik dan perpetual.
Metode Average dalam sistem periodik (Rata-Rata
Tertimbang)
Metode ini tidak mendasarkan Biaya Persediaan berdasarkan
aliran barang masuk atau keluar, namun merata-ratakan Biaya dari barang yang
tersedia untuk menghitung Biaya Persediaan akhir. Dari contoh PT. A sebelumnya,
Biaya Persediaan akhir dapat dihitung sebagai berikut:

Metode Average dalam Sistem Perpetual (Rata-rata
Bergerak)
Persediaan yang di catat dikartu Persediaan
dirata-ratakan Biaya-nya setiap terjadi pembelian barang. Dari data Persediaan PT. A, Persediaan akhir
dapat dihitung dari kartu Persediaan berikut ini:

Rata-rata Persediaan dihitung dengan menambahkan total
saldo Persediaan sebelum pembelian ditambah total harga beli barang, kemudian
membagikan hasil penjumlahan itu dengan total kuantitas Persediaan. Misalnya,
Biaya/unit Persediaan pada tanggal 16
Januari 2007 dapat dihitung sebagai berikut:( 50.250 +33.000) : (335 +200) =
Rp. 156. Dari beberapa metode Persediaan yang sudah dijelaskan, metode
rata-rata merupakan metode yang paling sederhana dan mudah dilakukan.
Perbandingan Rugi-laba Masing-Masing Metode
Masing-masing metode menghasilkan Biaya Persediaan dan
Biaya dari barang terjual yang berbeda-beda. Biaya Persediaan yang berbeda-beda
ini menghasilkan laba bruto yang berbeda. Perbandingan laba rugi masing-masing
metode dengan menggunakan data PT. A diatas, dengan asumsi setiap barang dijual
seharga Rp. 250 per unit, dapat
diilustrasikan sebagai berikut:

Dari tabel diatas terlihat bahwa metode FIFO menghasilkan
laba yang lebih tinggi karena Biaya Persediaan akhir dengan metode FIFO lebih
tinggi dibandingkan metode-metode aliran Biaya Persediaan lainnya. Metode
aliran Biaya apapun yang dipilih untuk dipakai harus digunakan secara konsisten
(dipakai dari satu periode ke periode berikutnya) untuk menjaga keandalan dan
keterbandingan informasi keuangan.
Perpindahan dari satu metode aliran Biaya Persediaan ke
metode lainnya tetap dimungkinkan dengan alasan yang masuk akal dan dijelaskan
dalam Catatan Terhadap Laporan Keuangan (Notes to Financial Statements).
4. METODE LAIN UNTUK MENILAI DAN MENAKSIR BIAYA
PERSEDIAAN
Secara umum Persediaan dinilai berdasarkan metode Biaya
histories, yaitu salah satu dari antara metode identifikasi khusus, FIFO, atau
rata-rata. Penyimpangan dari basis Biaya histories ini bisa dilakukan sepanjang
terdapat hal yang memungkinkan metode berdasarkan Biaya historis sulit atau tidk
memungkinkan untuk dilakukan. Beberapa cara untuk menilai atau menaksir
Persediaan diluar metode aliran Biaya histories adalah:
Metode
Lower
of Cost or Market (Terendah antara Biaya dan Pasar)
Metode
Lower
of Cost or Net Realizable Value (Terendah antara Biaya dan Nilai Realisasi
Neto)
Metode
Relative
Sales Value (Nilai Penjualan Relatif)
Metode
Gross
Profit (Laba Bruto)
Metode
Retail
Inventory (Persediaan Eceran)
LOWER OF COST OR MARKET (TERENDAH ANTARA BIAYA DAN PASAR)
Metode Lower of Cost or Market (Terendah antara
Biaya dan Pasar) digunakan untuk menilai Persediaan pada waktu laporan
keuangan akan disusun. Metode ini digunakan apabila manfaat Persediaan menurun
dibawah nilai/Biaya Persediaan. Kondisi tersebut terjadi apabila nilai pasar
Persediaan lebih rendah dari Biaya Persediaan karena kerusakan Persediaan atau
Persediaan merupakan barang usang. Akibatnya, kerugian karena nilai
pasar yang lebih rendah dari Biaya Persediaan harus diakui/dicatat pada periode
penilaian. Biaya Persediaan yang dinilai
dengan salah satu metode berbasis Biaya (FIFO, LIFO, AVERAGE atau Identifikasi
Khusus) dibandingkan dengan nilai pasarnya, yaitu harga beli barang apabila
pada saat penilaian barang itu dibeli kembali.
Harga pasar merupakan Biaya pengganti (Replacement Cost) dari Persediaan, yaitu harga pasar apabila
barang yang sama dibeli pada tanggal penilaian, bukan harga jual dari
Persediaan itu. Misalnya, barang yang memiliki Biaya Rp. 20,000 pada tanggal
penyusunan laporan dapat dibeli dengan harga Rp. 19.500 maka Biaya pengganti
adalah Rp.19.500. Selisih antara nilai Persediaan yang dinilai berbasis Biaya
dengan nilai pasarnya dianggap sebagai kerugian penurunan Persediaan dan
dibebankan pada periode dimana penurunan terjadi. Penilaian ini merupakan cara
yang konservatif dalam menilai Persediaan.
Cara kerja metode LCM
Metode LCM bekerja sesuai dengan gambar berikut ini:

Penjelasan:
1. Biaya Persediaan merupakan nilai Persediaan yang dinilai
dari salah satu metode berbasis Biaya: FIFO, LIFO, AVERAGE, dan Identifikasi
Khusus.
2. Nilai pasar merupakan Biaya pengganti, yaitu harga beli
Persediaan pada saat penilaian dilakukan. Biaya pengganti (Replacement Cost) tidak boleh melebihi nilai realisasi neto, yaitu
estimasi penjualan setelah dikurangi estimasi pengeluaran untuk menyelesaikan
Persediaan (estimasi biaya penyelesaian) dan biaya penjualan, dan tidak boleh
lebih rendah dari nilai realisasi neto setelah dikurangi penyisihan marjin laba
normal.
3. Apabila nilai pengganti melebihi nilai realisasi neto
maka yang digunakan sebagai nilai pasar adalah nilai realisasi neto karena nilai realisasi neto merupakan nilai
penjualan neto (harga jual dikurangi biaya penyelesaian dan biaya penjualan)
yang diharapkan mengalir ke perusahaan. Nilai Realisasi Neto menutupi kerugian
yang disebabkan oleh kerusakan atau keusangan Persediaan. Apabila nilai
pengganti melebihi nilai realisasi neto dan dipakai sebagai asumsi nilai pasar
maka Persediaan menjadi lebih tinggi dari nilai realisasinya. Misalnya: Biaya
Persediaan akhir Rp. 600, nilai pengganti Rp.550, dan nilai realisasi neto Rp
500, maka tidaklah tepat untuk menilai Persediaan sebesar nilai pengganti Rp.
550, karena Persediaan hanya bisa direalisasi (dijual, setelah dikurangi
biaya-biaya pelepasan) Rp. 500.
4. Apabila Nilai Biaya pengganti kurang dari nilai realisasi neto dikurangi penyisihan
marjin laba normal, maka yang digunakan sebagai nilai pasar adalah hasil
pengurangan nilai realisasi neto dengan penyisihan marjin laba normal. Hasil
pengurangan nilai realisasi neto dengan penyisihan marjin laba normal merupakan
5. batas bawah dimana Persediaan tidak boleh dijual dibawah nilai itu. Nilai batas bawah ini
merupakan nilai yang dapat diperoleh atau direalisasi perusahaan dari Persediaan dengan tetap memperoleh laba.
6. Misalnya, PT. A memiliki Persediaan yang dinilai dengan
FIFO. Biaya Persediaan akhir Rp. 2,000. Nilai penjualan dari Persediaan Rp.
2.500 dan taksiran biaya penyelesaian
dan penjualan Rp.150. Penyisihan untuk marjin laba normal sebesar 10% dari
penjualan. Harga beli Persediaan (Replacement
Cost) pada saat penilaian dilakukan Rp.1.950. Batas atas dan Batas Bawah
dapat dihitung:

Karena Nilai Pengganti (Replacement Cost) Rp. 1,950 sudah dibawah batas bawah, maka yang
digunakan sebagai nilai pasar adalah Rp. 2.100. Selanjutnya metode LCM
diaplikasikan untuk Biaya Rp. 2,000 dan nilai pasar Rp. 2.100. Karena yang
terendah adalah Biaya Persediaan maka nilai Persediaan akhir yang disajikan di
laporan keuangan adalah Rp. 2.000.
APLIKASI METODE LCM
Metode LCM bisa diaplikasikan kepada masing-masing
individu Persediaan, kategori utama Persediaan atau keseluruhan Persediaan.
Misalnya PT. Aditia memiliki beberapa jenis Persediaan yang bisa dikategorikan
atas dua jenis Persediaan. Data-data untuk menilai Persediaan dapat dilihat
pada ilustrasi berikut ini (penyisihan marjin laba normal 10% dari harga jual):

Aplikasi
metode LCM untuk setiap item Persediaan, kategori utama Persediaan dan
keseluruhan dapat dilakukan sebagai berikut:

Hasil
penilaian Persediaan menurut metode LCM berdasarkan ketiga kategori itu adalah:

Untuk
menyesuaikan nilai Persediaan dari berbasis Biaya menuju berbasis pasar (LCM),
ada dua metode pencatatan:
1.
Metode langsung
Metode ini
menyesuaikan selisih penilaian ke akun Biaya dari Barang Terjual (Cost
of Goods Sold) dan Persediaan periode itu. Tidak ada pengakuan kerugian
atas penurunan nilai Persediaan. Dari ilustrasi diatas, penyesuaian dengan
metode langsung untuk LCM Individual dapat dibuat sebagai berikut:

2.
Metode Tidak langsung/Penyisihan
Metode ini menyesuaikan selisih penilaian ke akun
penyisihan penurunan nilai Persediaan dan mengakui kerugian karena penurunan
nilai Persediaan. Metode ini mengungkapkan kerugian atas penurunan nilai
Persediaan dan tidak langsung mengurangi nilai Persediaan di neraca. Dari segi
pengungkapan informasi keuangan, metode ini lebih baik dari metode langsung.

Akun kerugian karena penurunan nilai pasar Persediaan
disajikan di laporan rugi laba pada kelompok biaya lain-lain, sedangkan akun
penyisihan terhadap penurunan nilai Persediaan disajikan di neraca sebagai
pengurang akun Persediaan (Contra
Account). Nilai Biaya dari barang terjual (Cost of Goods Sold) tidak berubah sama sekali.
METODE LOWER OF
COST OR NET REALIZABLE VALUE (TERENDAH ANTARA BIAYA DAN NILAI REALISASI NETO)
Apabila nilai Persediaan lebih tinggi dari nilai
realisasinya, maka Biaya dari Persediaan tidak akan bisa lagi dipulihkan atau
diperoleh. Penyebab nilai Persediaan melebihi nilai realisasinya adalah barang
yang rusak atau usang atau bila harga penjualan menurun dibawah Biaya
Persediaan. Misalnya, Persediaan yang memiliki Biaya Rp. 600 namun hanya bisa
dijual (direalisasi) sebesar Rp. 500, tidak wajar apabila dilaporkan di neraca
sebesar Biaya-nya Rp. 600. Untuk mencegah melaporkan Persediaan dalam jumlah
yang melebihi nilai realisasinya maka metode terendah antara Biaya dan nilai
realisasi neto dapat digunakan untuk menilai Persediaan akhir.
Metode ini membandingkan nilai Persediaan yang dinilai
berbasis Biaya histories dengan nilai realisasi neto dari Persediaan. Nilai
realisasi Neto merupakan nilai penjualan neto yang diharapkan mengalir dari
Persediaan. Sama dengan metode LCM, nilai realisai neto dihitung dengan
mengurangkan nilai Persediaan menurut harga jual dikurangi dengan
taksiran-taksiran biaya penyelesaian dan penjualan. Nilai terendah antara nilai
Persediaan yang dinilai berbasis Biaya historis dengan nilai realisasi neto
diangkat sebagai nilai Persediaan akhir di laporan keuangan.
Sama dengan metode LCM, penilaian Persediaan juga dapat
dilakukan untuk masing-masing item Persediaan, kelompok utama atau secara
keseluruhan. Selisih penilaian dapat
dicatat dengan metode langsung ataupun metode tidak langsung, seperti
diterapkan pada metode LCM
Argumen pendukung terhadap metode ini adalah nilai
Persediaan tidak boleh melebihi nilai realisasi neto-nya, karena aktiva tidak
boleh dinilai melebihi nilai realisasinya Apabila Persediaan sudah melebihi
nilai realisasi neto, maka Persediaan sudah disajikan terlampau tinggi (overstatement). Standar Akuntansi
Keuangan (SAK) dalam PSAK No.14 menganjurkan penilaian Persediaan dengan metode
ini.
METODE LABA BRUTO (GROSS PROFIT METHOD)
Metode laba bruto digunakan untuk menaksir Persediaan
dalam kondisi tidak memungkinkan atau tidak efisien dari segi waktu untuk
melakukan perhitungan fisik terhadap saldo Persediaan. Biasanya metode ini
digunakan apabila Persediaan terkena bencana alam (banjir, kebakaran, dll),
atau oleh auditor untuk menaksir nilai Persediaan akhir, atau apabila laporan
keuangan disusun untuk periode interim. Metode ini juga digunakan oleh
perusahaan asuransi untuk menaksir Persediaan yang terkena bencana alam dan
diasuransikan. Bila memungkinkan, perusahaan harus tetap melakukan perhitungan
fisik atas Persediaan minimal sekali setahun.
Metode laba bruto dioperasikan dengan menetapkan suatu
persentase laba bruto dari penjualan. Misalnya, PT. Andika memiliki penjualan
Rp 20.000.000 dan ditaksir laba bruto 15% dari penjualan. Saldo Persediaan awal
Rp. 35.000.000, pembelian dalam periode itu Rp. 15.000.000. Secara sederhana
Persediaan akhir dapat dihitung dengan cara:

METODE NILAI PENJUALAN RELATIF (RELATIVE SALES VALUE)
Metode nilai penjualan relative digunakan untuk menilai
Persediaan yang dibeli secara borongan (lump-sum).
Alokasi Biaya Persediaan didasarkan pada perbandingan total harga jual
masing-masing item Persediaan dengan keseluruhan harga jual. Rasio itu kemudian
dikalikan dengan total harga beli seluruh Persediaan. Misalnya, Tuan A membeli
pakaian bekas dalam bal (suatu ukuran untuk pembelian pakaian jadi). Harga 1
bal pakaian adalah Rp. 3.500.000, terdiri dari pakaian anak-anak:
1. Kualitas I (80 buah), harga jual Rp. 50.000/unit
2. Kualitas II ( 120 buah), harga jual Rp. 35.000/unit
3. Kualitas III (100 buah), harga jual Rp. 10.000/unit
Pada
akhir periode, yang tersisa adalah:
1. Kualitas I (20
buah),
2. Kualitas II ( 60 buah)
3. Kualitas III (10 buah)
Biaya
dari Persediaan akhir dapat dihitung sebagai berikut:


METODE RETAIL
INVENTORY (PERSEDIAAN ECERAN)
Pada perusahaan eceren item Persediaan sangat banyak,
sehingga perhitungan fisik atas Persediaan kurang efektif dilakukan terutama
apabila perusahaan membuat laporan keuangan secara interim. Untuk mengetahui
nilai Persediaan tanpa perlu melakukan perhitungan fisik adalah dengan
menggunakan metode Persediaan eceran. Metode ini digunakan untuk menaksir nilai
Persediaan yang tersisa pada suatu tanggal. Metode Persediaan eceran bisa
digunakan dengan asumsi:
Perusahaan
memiliki catatan tentang Biaya dan harga eceran dari setiap barang yang dibeli
Perusahaan
memiliki catatan tentang Biaya dan harga eceran setiap barang yang tersedian
untuk dijual.
Memiliki
catatan penjualan pada periode itu.
Taksiran nilai Persediaan dihitung dengan rasio Biaya terhadap harga eceran (Cost to retail ratio), yaitu
membandingkan nilai barang yang tersedia untuk dijual pada harga eceran dengan
nilai barang yang tersedia untuk dijual berdasarkan Biaya-nya (harga
pemerolehan).
Istilah-istilah yang digunakan dalam metode Persediaan
eceran
Dalam perusahaan eceran, kenaikan atau penurunan harga
eceren sangat sering dilakukan terutama untuk menyambut peristiwa-peristiwa
tertentu atau untuk menanggapi pertumbuhan atau penurunan permintaan terhadap
barang. Beberapa istilah yang digunakan untuk menjelaskan kenaikan atau
penurunan harga eceran adalah:
Mark
up, yaitu jumlah kenaikan diatas harga eceran
Pembatalan
Mark Up (Mark Up Cancellation), yaitu penurunan harga pada
interval mark up yang sudah dibuat
Mark
Down, yaitu jumlah penurunan harga eceran
Pembatalan
Mark Down, yaitu kenaikan harga pada interval mark
down yang sudah dibuat.
Misalnya, harga eceran barang X Rp. 5.000. Apabila harga
dinaikkan menjadi Rp. 6.000 maka mark up Rp. 1.000. Apabila harga menjadi Rp.
5.500 maka pembatalan mark Up Rp. 500. Apabila harga menurun menjadi Rp. 4.800,
maka pematalan mark up Rp. 500 dan mark down Rp. 200. Bila harga dinaikkan
menjadi Rp. 4.950, maka telah terjadi pembatalan mark down Rp. 150. Ilustrasi
itu bisa digambarkan sebagai berikut:

Misalnya,
PT. Aditya memiliki data Persediaan menurut Biaya dan harga eceran seperti
dibawah ini:

Nilai Persediaan akhir dapat dihitung dengan metode
konvensional atau metode Biaya. Dengan metode konvensial, nilai
barang tersedia untuk dijual menurut harga eceran tidak termasuk mark down dan pembatalan mark down (hanya sampai Mark up). Apabila metode Biaya yang
digunakan, maka nilai mark up, pembatalan
mark up, mark down, dan pembatalan mark down diikutkan dalam perhitungan.
Nilai Persediaan akhir menurut harga eceran diperoleh dengan mengurangkan nilai
barang tersedia untuk dijual menurut harga eceran dengan nilai penjualan. Biaya
Persediaan akhir diperoleh dengan mengalikan rasio Biaya terhadap harga eceran
terhadap nilai Persediaan menurut harga eceran.
Metode Biaya (Cost
Method)

Metode Konvensional (Conventional
Method)

Berdasarkan
rumus diatas maka Persediaan akhir PT. Aditya dapat dihitung:

Metode Konvensional tidak memasukkan mark-down untuk menghitung rasio Persediaan akhir. Metode ini
digunakan apabila perusahaan ingin menaksir nilai Persediaan akhir yang dinilai
dengan menggunakan metode terendah antara Biaya (rata-rata) dan nilai pasar.
Metode Biaya memasukkan mark up maupun mark down untuk
menghitung nilai Persediaan akhir. Metode ini tidak mengakui adanya kerugian
akibat penurunan nilai Persediaan.
Komitmen pembelian adalah suatu kontrak pembelian antara
pihak penjual dengan pihak pembeli barang. Bagi pembeli, kontrak pembelian
melindunginya dari kenaikan harga yang akan terjadi dalam masa-masa kontrak dan
menjamin pasokan barang. Bagi pihak penjual, kontrak ini menjamin penjualan
barang dan arus kas perusahaan. Pasa saat komitmen disepakati, tidak ada
pencatatan yang perlu dilakukan pada catatan akuntansi (jurnal). Apabila nilai
kontrak material, maka kontrak harus diungkapkan dalam Catatan Atas Laporan
Keuangan (Notes to Financial Statement). Pencatatan ke jurnal dilakukan
ketika laporan keuangan (interim atau tahunan) akan disusun. Pada saat itu,
penilaian dilakukan terhadap harga yang tercantum dalam kontrak terhadap harga
pasarnya. Apabila harga pasar menurun dibawah harga kesepakatan, maka pihak
pembeli harus mengakui kerugian dan hutang yang terkait dengan kerugian
penurunan harga itu. Penilaian harga kontrak terhadap harga pasar juga
dilakukan pada saat barang akan diterima dan pembayaran dilakukan.
Misalnya, PT. Aditia melakukan komitmen pembelian dengan PT. Biduan Lestari. Komitmen
untuk membeli barang dari PT. Biduan Lestari pada harga yang disepakati Rp.
2.500/unit untuk 3.000 unit barang. Pada akhir periode akuntansi, harga barang
tersebut di pasar Rp. 2.000. Hal itu berarti PT. Aditia kehilangan kesempatan
untuk memperoleh harga yang lebih murah dari harga kontrak. Untuk itu, PT.
Aditia harus mengakui kerugian karena harga pasar dibawah harga komitmen:

Kerugian
karena penurunan harga pasar itu disajikan di laporan rugi laba pada kelompok
akun Biaya dan kerugian lainnya. Akun hutang taksiran atas komitmen pembelian
disajikan pada kelompok hutang jangka pendek (hutang lancar). Apabila pada saat
barang diterima harga pasar sebesar Rp. 2.200, maka PT. Aditia harus mengakui
keuntungan (ingat: keuntungan boleh diakui hanya ketika realisasi dilakukan):
Tidak ada komentar:
Posting Komentar